Senin, 13 Februari 2012
Penulis : Renaldkasali
- Guru Besar Universitas Indonesia, pakar bisnis dan strategi
Setiap kali berkunjung ke Jerusalem, saya sering tertegun saat melihat orang-orang Yahudi ortodoks yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan Tiongkok di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaina ala Mao. Di Tiongkok, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama dengan orang Yahudi yang baru terlihat happy saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itu pun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis didepan tembok yang banyak celahnya diisi kertas-kertas bertulisan harapan dan doa.
Perhatian saya tertuju
pada jas hitam, baju putih , janggut panjang, dan topi kulit berwarna hitam
yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr Stephen Carr Leon yang
pernah tinggal di Jerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan
lebih sering berada dirumah untuk mengajari istri rumus-rumus matematika atau
bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein atau
sehebat violis terkenal Itzhak Perlman.
Saya kira bukan hanya
orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi pintar. Di Amerika Serikat saya
juga melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar bisa
menyekolahkan anaknya. Di Bekasi saya pernah bertemu orang Batak yang membuka
usah tambal ban di pinggir jalan. Begitu saya intip rumahnya, didalam bilik
yang terbuat dari bambu dan gedek, saya melihat seorang anak usia SD sedang
belajar sambil minum susu di depan lampu teplok yang diterpa angin.
Tapi, tahukah Anda,
orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti?
Dari Atas atau Bawah?
Sekolah 5 senti
dimulali dari kepala bagian atas. Supaya fokus, saat bersekolah, tangan harus
dilipat, duduk tenang, dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang dipelajari di bangku
sekolah diulang di rumah, ditata satu per satu seperti melakukan filing supaya tersimpan teratur di otak.
Orang-orang yang
sekolah 5 senti mengutamakan rapor dan transkip nilai. Itu mencerminkan
seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling
jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.
Tetapi, ada juga
yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal 50
senti, hingga ke lutut. Kata Bob Sadino,
itu cara goblok. Enggak usah mikir,
jalan aja, coba rasain, lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau
dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal.
Bergantung berhentinya sampai di mana.
Ada orang yang
mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya menjadi akademisi yang
steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bis ngomong, menulis, apalagi
memberikan contoh. Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti
sampai dengkul saja, seperti pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani
hidup kendati yang pertama bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4,0.
Supaya bisa menjadi
imigran unggul, para imigran Arab, Yahudi, Tiongkok, dan India di Amerika
menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah 5 senti, tetapi sekolah
2 meter. Dari atas kepala hingga telapak kaki. Pintar itu bukan hanya untuk
berpikir, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke
kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan,
kaki, dan mulut sama-sama disekolahkan dan sama-sama harus bekerja.
Sekarang saya jadi
mengerti mengapa orang-orang Yahudi mengirim anak-anaknya ke sekolah musik atau
mengapa anak-anak orang Tionghoa ditugaskan menjaga toko, melayani pembeli
selepas sekolah.
Sekarang ini
Indonesia sedang mengalami banyak masalah karena sebagian besar guru dan
dosennya, maaf, hanya pintar 5 senti dan mereka mau murid-muridnya sama dengan
mereka. Guru besar ilmu teknik (sipil) yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik
membaca berita saat mendengar jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau terjadi
gempa di Padang. Guru besar yang pintarnya 2 meter segera berkemas dan
berangkat meninjau lokasi, memeriksa, dan mencari penyebabnya. Mereka menulis
karangan ilmiah dan memberikan simposium kepada generasi baru tentang apa yang
ditemukan di lapangan.
Yang sekolah 5
senti hanya bisa berkomentar atas komentar-komentar orang lain. Sedangkan yang
pandainya 2 meter cepat kaki dan ringan tangan. Sementara itu, yang pandainya
dari bawah dan berhenti sampai didengkul
hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohkan orang-orang pintar, padahal
usahanya banyak masalah.
Saya pernah bertemu
dengan orang yang memulainya dari bawah, dari dengkulnya, lalu bekerja di perusahaan
tambang sebagai tenaga fisik lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus
menabung sampai akhirnya tiba di Amerika Serikat. Di sana ia hanya tahu
Berkeley University dari koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal.
Tetapi, karena
bahasa Inggris dia buruk dan pengetahuannya kurang, ia beberapa kali tertipu
dan masuk ke kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan Berkeley yang
menjadi sekolah para ekonom terkenal. Itu pun baru setahun kemudian ia sadari,
yaitu saat duitnya habis. Sekolah tidak jelas, uang pun tak ada, ia harus
kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di riglepas
pantai.
Dua tahun kemudian
orang ini kembali ke Berkeley dan semua orang terkejut, kini ia bersekolah di
business school yang paling bergengsi di Berkeley. Apa kiatnya? “Saya datangi
dekannya dan saya minta diberi kesempatan. Saya katakan, saya akan buktikan
saya bisa menyelesaikannya. Tetapi, kalau tidak diberi kesempatan, bagaimana
saya membuktikannya?”
Teman-temannya
bercerita, sewaktu ia kembali ke Berkeley, semua orang Indonesia bertepuk
tangan karena terharu. Anda mau tahu di mana ia berada sekarang? Setelah meraih
gelar MBA sari Berkeley dan meniti karir sebagai eksekutif, kini orang hebat
ini menjadi pengusaha dalam bidang energi yang ramah lingkungan, besar, dan
inovatif.
Saya juga bisa
bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu yang pintarnya sama dengan Anda,
tetapi mereka tidak hanya pintar bicara, melainkan juga berbuat, menjalankan
apa yang dipikirkan dan sebaliknya.
Maka jangan percaya
kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai melalui sekolah atau sebaliknya.
Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke, dari bawah juga tidak
masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 senti atau 50 senti. Seperti otak
orang tua yang harus dilatih, fisik anak-anak muda juga harus disekolahkan.
Dan, sekolahnya bukan di atas bangku, tetapi ada di alam semesta, berteman debu
dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.