Wednesday, September 18, 2013

Sekolah 5 Senti

Sumber: Jawa Pos halaman Ekonomi Bisnis
             Senin, 13 Februari 2012
Penulis : Renaldkasali - Guru Besar Universitas Indonesia, pakar bisnis dan strategi
 


Setiap kali berkunjung ke Jerusalem, saya sering tertegun saat melihat orang-orang Yahudi ortodoks yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan Tiongkok di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaina ala Mao. Di Tiongkok, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama dengan orang Yahudi yang baru terlihat happy  saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itu pun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis didepan tembok yang banyak celahnya diisi kertas-kertas bertulisan harapan dan doa.

Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih , janggut panjang, dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Jerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada dirumah untuk mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein atau sehebat violis terkenal Itzhak Perlman.

Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi pintar. Di Amerika Serikat saya juga melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar bisa menyekolahkan anaknya. Di Bekasi saya pernah bertemu orang Batak yang membuka usah tambal ban di pinggir jalan. Begitu saya intip rumahnya, didalam bilik yang terbuat dari bambu dan gedek, saya melihat seorang anak usia SD sedang belajar sambil minum susu di depan lampu teplok yang diterpa angin.

Tapi, tahukah Anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti?


Dari Atas atau Bawah?

Sekolah 5 senti dimulali dari kepala bagian atas. Supaya fokus, saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk tenang, dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang dipelajari di bangku sekolah diulang di rumah, ditata satu per satu seperti melakukan filing supaya tersimpan teratur di otak.

Orang-orang yang sekolah 5 senti mengutamakan rapor dan transkip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.

Tetapi, ada juga yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal 50 senti,  hingga ke lutut. Kata Bob Sadino, itu cara goblok. Enggak usah mikir, jalan aja, coba rasain, lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal. Bergantung berhentinya sampai di mana.

Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bis ngomong, menulis, apalagi memberikan contoh. Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani hidup kendati yang pertama bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4,0.

Supaya bisa menjadi imigran unggul, para imigran Arab, Yahudi, Tiongkok, dan India di Amerika menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah 5 senti, tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala hingga telapak kaki. Pintar itu bukan hanya untuk berpikir, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan, kaki, dan mulut sama-sama disekolahkan dan sama-sama harus bekerja.

Sekarang saya jadi mengerti mengapa orang-orang Yahudi mengirim anak-anaknya ke sekolah musik atau mengapa anak-anak orang Tionghoa ditugaskan menjaga toko, melayani pembeli selepas sekolah.

Sekarang ini Indonesia sedang mengalami banyak masalah karena sebagian besar guru dan dosennya, maaf, hanya pintar 5 senti dan mereka mau murid-muridnya sama dengan mereka. Guru besar ilmu teknik (sipil) yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik membaca berita saat mendengar jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau terjadi gempa di Padang. Guru besar yang pintarnya 2 meter segera berkemas dan berangkat meninjau lokasi, memeriksa, dan mencari penyebabnya. Mereka menulis karangan ilmiah dan memberikan simposium kepada generasi baru tentang apa yang ditemukan di lapangan.

Yang sekolah 5 senti hanya bisa berkomentar atas komentar-komentar orang lain. Sedangkan yang pandainya 2 meter cepat kaki dan ringan tangan. Sementara itu, yang pandainya dari bawah dan berhenti sampai didengkul  hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohkan orang-orang pintar, padahal usahanya banyak masalah.

Saya pernah bertemu dengan orang yang memulainya dari bawah, dari dengkulnya, lalu bekerja di perusahaan tambang sebagai tenaga fisik lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus menabung sampai akhirnya tiba di Amerika Serikat. Di sana ia hanya tahu Berkeley University dari koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal.

Tetapi, karena bahasa Inggris dia buruk dan pengetahuannya kurang, ia beberapa kali tertipu dan masuk ke kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan Berkeley yang menjadi sekolah para ekonom terkenal. Itu pun baru setahun kemudian ia sadari, yaitu saat duitnya habis. Sekolah tidak jelas, uang pun tak ada, ia harus kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di riglepas pantai.

Dua tahun kemudian orang ini kembali ke Berkeley dan semua orang terkejut, kini ia bersekolah di business school yang paling bergengsi di Berkeley. Apa kiatnya? “Saya datangi dekannya dan saya minta diberi kesempatan. Saya katakan, saya akan buktikan saya bisa menyelesaikannya. Tetapi, kalau tidak diberi kesempatan, bagaimana saya membuktikannya?”

Teman-temannya bercerita, sewaktu ia kembali ke Berkeley, semua orang Indonesia bertepuk tangan karena terharu. Anda mau tahu di mana ia berada sekarang? Setelah meraih gelar MBA sari Berkeley dan meniti karir sebagai eksekutif, kini orang hebat ini menjadi pengusaha dalam bidang energi yang ramah lingkungan, besar, dan inovatif.

Saya juga bisa bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu yang pintarnya sama dengan Anda, tetapi mereka tidak hanya pintar bicara, melainkan juga berbuat, menjalankan apa yang dipikirkan dan sebaliknya.

Maka jangan percaya kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai melalui sekolah atau sebaliknya. Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke, dari bawah juga tidak masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 senti atau 50 senti. Seperti otak orang tua yang harus dilatih, fisik anak-anak muda juga harus disekolahkan. Dan, sekolahnya bukan di atas bangku, tetapi ada di alam semesta, berteman debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.

No comments:

Post a Comment