Wednesday, September 18, 2013

Growth Mindset

Sumber: Jawa Pos halaman Ekonomi Bisnis
             Senin, 13 Februari 2012
Penulis : Renaldkasali - Guru Besar Universitas Indonesia, pakar bisnis dan strategi

Sabtu lalu (11/2) sekitar seribu orang mengikuti yudisium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Mereka terdiri dari lulusan S-1, S-2, dan S-3. Di antara mereka ada 40 anak didik saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cumlaude, dan dua diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4,0). Bahkan, salah seorang yang lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan) berusia paling muda (21,5 tahun).
Tetapi, sepulang saya dari acara yudisium, saya menerima sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap mendiang (wajar, karena menurut orang dalam Apple, petugas FBI yang ditugasi mewawancarai dibuat Jobs harus menunggu tiga jam sebelum diterima). Namun demikian, penulisnya berusaha memberikan data-data objektif sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.
“Meski terkenal, ia ternyata hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65 saat duduk di tingkat SLTA,” ujar laporan itu. Angka tersenut terlihat objektif dan tidak diambil dari pemikiran penulis. Kalau Anda membaca report itu jauh sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai Jobs tidak cerdas. Tetapi, karena kita membacanya sekarang, paling Anda mengatakan apa urusan IPK dengan karya yang sudah dibangun seseorang. Bukankah impact jauh lebih penting daripada paper dan IPK?
Seperti yang pernah saya tulis pada kolom di Jawa Pos setahun yang lalu, manusia memiliki dua jenis midset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki setting-an piklran tetap (fixed mindsed) cenderung sangat mementingkan ijazah dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap diri mereka “bodoh”.
Bagi mereka, ijazah dan IPK hanya langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impact apa yang bisa Anda berikan atau lahirkan. Maka, kepada mereka yang pernah belajar dengan saya selalu saya tegaskan, pintar itu bagus, tetapi impact jauh lebih penting.
Celakanya, universitas banyak dikuasai orang-orang yang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka terkurung dalam penjara yang mereka buat sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka, impact itu sama dengan paper atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.

Kualitas Intake
Jadi, akhir pekan kemarin pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak saya senang memiliki anak-anak yang cerdas, namun di pihak lain saya gelisah kalau mereka yang ber-IPK tinggi itu produk setting-an tetap. IPK tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah: ijazah.
Karakter orang-orang settingan tetap itu, menurut Carol Dweck, antara lain, adalah menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, dan tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif). Juga, bila ada orang lain yang lebih hebat darinya, ia sangat sinis dan menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti itu biasanya menjadi arogan dan sering membanggakan “apa yang sudah ia capai”. Prestasi akademis pada masa lalu bisa menjadi pemicu.
Padahal, kita semua butuh orang pintar. Bahkan, di sebuah sekolah perempuan saya membaca kalimat ini: Beauty is nothing without brain. Benar, cantik saja tidak berarti apa-apa bila tidak cerdas. Tetapi, studi yang dilakukan Dweck memberikan jawaban yang melengkapi: Pintar yang kita butuhkan bukanlah pintar yang sudah selesai, melainkan yang di-setting untuk tumbuh (growth mindset).
Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting., menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi, dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya, ia akan menjadikan orang tersebut sebagai tempat belajar.
Orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran untuk direkrut. Maka, di MMUI seperti juga di Harvard, kami tidak terlalu mengandalkan tes-tes tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademis masa lalu mereka boleh tinggi, tetapi kami dalami dalam wawancara yang dilakukan orang-orang berpengalaman. Dari situ kami sering mendapatkan insight, bahkan tidak jarang orang yang memiliki hasil tes tinggi terpaksa digugurkan karena mereka terlanjur terkunci dalam ruang gelap yang di-setting  tetap.
Tetapi apalah arti semua itu kalau kita tidak berani mengubah mereka? Itulah tugas kami sebagai pendidik, merombak cara berpikir agar anak didik tumbuh, bukan sekadar mendapat ijazah. Jadi, ke-40 anak muda yang lulus cumlaude  itu tentu masih ingat bahwa musuh besar mereka adalah kebanggaan yang berlebihan terhadap prestasi yang sudah dicapai kemarin.
Ke depan Indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang kaku yang merasa pintar sendiri. Untuk melahirkan manusia-manusia unggul, diperlukan kualitas intake yang baik, disamping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan yang tumbuh.
Maka, proses seleksi sangat penting, di awal, di tengah, dan di akhir. Bila dulu saya gelisah memandang lulusan yang meraih gelar cum laude yang hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang saya bisa bernapas lega karena Dweck telah membukakan jalan bahwa itu bisa diatasi dengan setting-an pikiran yang tepat.

No comments:

Post a Comment