Sumber:
Jawa Pos halaman Ekonomi Bisnis
Senin, 13 Februari 2012
Penulis : Renaldkasali - Guru
Besar Universitas Indonesia, pakar bisnis dan strategi
Sabtu lalu (11/2) sekitar
seribu orang mengikuti yudisium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI).
Mereka terdiri dari lulusan S-1, S-2, dan S-3. Di antara mereka ada 40 anak didik
saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cumlaude,
dan dua diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4,0). Bahkan, salah seorang
yang lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan) berusia paling muda (21,5
tahun).
Tetapi, sepulang saya dari
acara yudisium, saya menerima sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI
tentang latar belakang dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa
lagi kalau bukan Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis
oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap mendiang (wajar, karena menurut
orang dalam Apple, petugas FBI yang ditugasi mewawancarai dibuat Jobs harus
menunggu tiga jam sebelum diterima). Namun demikian, penulisnya berusaha
memberikan data-data objektif sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.
“Meski terkenal, ia ternyata
hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65 saat duduk di tingkat SLTA,” ujar
laporan itu. Angka tersenut terlihat objektif dan tidak diambil dari pemikiran penulis.
Kalau Anda membaca report itu jauh
sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai Jobs tidak
cerdas. Tetapi, karena kita membacanya sekarang, paling Anda mengatakan apa
urusan IPK dengan karya yang sudah dibangun seseorang. Bukankah impact jauh lebih penting daripada paper dan IPK?
Seperti yang pernah saya tulis
pada kolom di Jawa Pos setahun yang
lalu, manusia memiliki dua jenis midset, yaitu growth mindset dan fixed
mindset. Orang-orang yang memiliki setting-an piklran tetap (fixed mindsed) cenderung sangat
mementingkan ijazah dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap diri
mereka “bodoh”.
Bagi mereka, ijazah dan IPK
hanya langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impact apa yang bisa Anda berikan atau lahirkan. Maka, kepada
mereka yang pernah belajar dengan saya selalu saya tegaskan, pintar itu bagus,
tetapi impact jauh lebih penting.
Celakanya, universitas banyak
dikuasai orang-orang yang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka
terkurung dalam penjara yang mereka buat sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka, impact
itu sama dengan paper atau kertas
karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.
Kualitas Intake
Jadi, akhir pekan kemarin
pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak saya senang memiliki anak-anak yang
cerdas, namun di pihak lain saya gelisah kalau mereka yang ber-IPK tinggi itu
produk setting-an tetap. IPK tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah:
ijazah.
Karakter orang-orang settingan
tetap itu, menurut Carol Dweck, antara lain, adalah menolak tantangan-tantangan
baru, menganggap kerja keras sia-sia, dan tidak senang menerima kritik (umpan
balik negatif). Juga, bila ada orang lain yang lebih hebat darinya, ia sangat
sinis dan menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti itu biasanya
menjadi arogan dan sering membanggakan “apa yang sudah ia capai”. Prestasi
akademis pada masa lalu bisa menjadi pemicu.
Padahal, kita semua butuh orang
pintar. Bahkan, di sebuah sekolah perempuan saya membaca kalimat ini: Beauty is nothing without brain. Benar,
cantik saja tidak berarti apa-apa bila tidak cerdas. Tetapi, studi yang
dilakukan Dweck memberikan jawaban yang melengkapi: Pintar yang kita butuhkan
bukanlah pintar yang sudah selesai, melainkan yang di-setting untuk tumbuh (growth
mindset).
Apa ciri-ciri mereka? Mereka
itu merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka menerima
tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting., menerima feedback negatif untuk melakukan
koreksi, dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya, ia akan menjadikan orang
tersebut sebagai tempat belajar.
Orang-orang seperti itulah yang
menjadi sasaran untuk direkrut. Maka, di MMUI seperti juga di Harvard, kami tidak
terlalu mengandalkan tes-tes tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademis
masa lalu mereka boleh tinggi, tetapi kami dalami dalam wawancara yang
dilakukan orang-orang berpengalaman. Dari situ kami sering mendapatkan insight, bahkan tidak jarang orang yang
memiliki hasil tes tinggi terpaksa digugurkan karena mereka terlanjur terkunci
dalam ruang gelap yang di-setting tetap.
Tetapi apalah arti semua itu
kalau kita tidak berani mengubah mereka? Itulah tugas kami sebagai pendidik,
merombak cara berpikir agar anak didik tumbuh, bukan sekadar mendapat ijazah.
Jadi, ke-40 anak muda yang lulus cumlaude
itu tentu masih ingat bahwa musuh
besar mereka adalah kebanggaan yang berlebihan terhadap prestasi yang sudah
dicapai kemarin.
Ke depan Indonesia butuh lebih
banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang kaku yang merasa pintar sendiri.
Untuk melahirkan manusia-manusia unggul, diperlukan kualitas intake yang baik, disamping proses yang
mampu menempa mereka menjadi insan yang tumbuh.
Maka, proses seleksi sangat
penting, di awal, di tengah, dan di akhir. Bila dulu saya gelisah memandang
lulusan yang meraih gelar cum laude yang
hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang saya bisa bernapas lega
karena Dweck telah membukakan jalan bahwa itu bisa diatasi dengan setting-an
pikiran yang tepat.
No comments:
Post a Comment