Friday, December 28, 2012

Tolong Aku: Mereka Mencuri Tanah Kami



Malam itu dingin begitu menusuk. Ibuku, sedang berada didapur, membuatkan teh hangat untuk kami sekeluarga. Ayah sedang membaca buku tebal yang baru saja tadi siang ia baca. Kakak-kakakku sedang mengerjakan tugas sekolah. Dari tadi sibuk dengan buku dan alat hitungnya. Sedangkan aku disini bersama Yuan, ia boneka kecilku pemberian dari nenek sewaktu beliau masih hidup 2 tahun lalu.

Ibu memanggil aku dan kak Aishaa untuk membantunya membawa minuman ke ruang tengah. Aku dan kak Aisyah segera menghampiri ibu dengan sedikit berlari. Aku disuruh membawa piring kue dan kak Aisyah membawa gelas, sedangkan seteko teh hangat ibu yang membawakannya. Kami membawa teh itu ke ruang tengah. Ayah dan kak Hafidz menyambut kedatangan kami dengan senyuman dan bantuanku menaruh kue dimeja. Ayah kemudian menggendong dan memangku aku sambil mengajakku becanda. Kak Aishaa, Kak Hafidz dan ibu pun tertawa mendengar candaan kami. Malam itu sangat riang sekali. Kami sekeluarga bahagia dalam naungan suasana keluarga yang sangat hangat.

Jam dinding menunjukkan pukul 9.00 malam, ibu, menyuruh aku dan kakak-kakak untuk tidur. Kak Aishaa menggendongku sampai ke dalam kamar. Kemudian mematikan lampu kamarku. Seperti biasa, kak Aishaa tak pernah lupa mendoakanku sebelum aku tidur. "Ya Allah, jagalah adikku, Fatimah dan Hafidz dalam Kuasa-Mu. Jagalah juga Ayah dan Ibuku. Jagalah kami agar tetap utuh memegang teguh agama-Mu. Tak gentar sedikitpun melawan musuh-musuh-Mu. Ya Fattah, hancurkanlah kaum Zionis Yahudi yang mencuri tanah kami, menghancurkan rumah-rumah kami, yang telah membunuh teman-teman kami. Hilangkanlah rasa takut kami kepada mereka, tanamkanlah kegelisahakan dan ketakutan pada diri mereka. Ya Rabb, lindungilah bumi pertiwi kami ini dan jadikanlah kami termasuk ke dalam golongan para syuhada-Mu. Aamiin", doa ka Aishaa. Dan aku mengamini semua doa-doanya yang tak pernah lupa ia ucapkan tiap malam.
Aku mulai memejamkan mataku. Kak Aishaa memcium keningku dan kemudian menutup pintu kamarku.Gelap dan dingin kala itu.
Tiba-tiba aku mendengar suara keras dari luar rumah.
"DDDAARRRRR..." seperti suara tembakan.
Aku tak tahu apa yang terjadi diluar sana. Yang jelas, suara itu benar-benar mengagetkanku. Aku langsung terbangun dan ketakutan. Aku ingin sekali berteriak memanggil ibu dan ayah. Tapi suaraku tak keluar sama sekali. Aku takut. Kamarku gelap. Kemudian tak berapa lama setelah suar tembakan itu, aku mendengar suara orang membentak-bentak. Tapi aku tak tahu apa yang dibicarakan. Aku tak mengenal suara dan bahasa itu.
Orang-orang yang berbicara itu tak memakai bahasaku. Siapa mereka?

Tak berapa lama aku mendengar suara tembakan lagi. Berkali-kali. Suara barang-barang yang jatuh dan pecah. Terdengar juga suara teriakan dari ibu dan kak Aishaa. Teriakan yang begitu keras, terdengar juga tangisan dari mereka.

"Yaa Allah, apa yang terjadi di rumahku??", kataku dalam hati.

Aku juga sempat mendengar suara kak Hafidz bertakbir berkali-kali. Tapi setelah satu tembakan terakhir yang aku dengar malam itu dirumah, aku tak lagi mendengar lantang suaranya bertakbir. Oh Allah, apa yang terjadi di sana? Aku hanya bisa menangis didalam kamar. Aku takut. Tak ada seorangpun yang datang menghampiri kamarku dan menolongku. Suara kemudian sunyi. Aku tak lagi mendengar suara tembakan maupun teriakan lagi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mulai mengumpulkan keberanianku untuk menapakkan kaki ke tanah dan [ergi ke ruang tengah.
Betapa kagetnya aku, diruang tengah keadaan begitu kacau. Berantakan. Barang-barang pecah dan hancur. Darah dimana-mana. Yang membuatku tak bisa menahan air mata adalah aku melihat sosok seorang yang aku kenal tergeletak bersimbah darah. Aku mengenalnya. Ya, aku mengenalnya, ia adalah ayah. Ya Allah. Aku tak bisa menahan air mataku. Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
"Ayah... Ayah.. bangunlah ayah!" teriakkan tangisku menghacurkan kesunyian malam itu. Aku kemudian memanggil-manggil ibu, Ka Hafidz, dan Ka Aishaa. Aku terus memanggilnya. Tapi tak ada satupun yang menyambut panggilanku. Aku bingunng saat itu. Apa yang harus aku lakukan. Aku pergi ke kamar ka Aishaa tak ada siapa-siapa. Aku pergi ke kamar ibu pun tak ada siapa-siapa. Kemudian aku pergi ke dapur. Oh Allah, betapa hancurnya aku. Ibu, Ka Aishaa, dan Ka Hafid bersimbah darah dalam kondisi banyak bekas luka tembakan ditubuhnya. Aku berteriak sejadi-jadinya. Keras sekali.
Semuanya telah pergi. Hanya aku sendiri disini. Seorang diri.

Aku tak pernah sebelumnya merasakan kesedihan seperti ini. Kehancuran ini. Seluruh keluargaku mereka ambil. Apa salah ayah, ibu, kak Aishaa dan ka Hafidz? dan apa juga salahku? Mengapa kalian melakukan hal itu pada kami. Apa salah kami? Yang aku tahu, ini adalah rumah kami, tanah kami. Kami tidak sedang menumpang disini. Mengapa kalian terus mengganggu dan mengusik kami? Tak pernah merasa puas dengan apa yang telah kalian perbuat kepada kami. Kalian seperti pencuri yang menjadi tuan dirumah yang kalian curi. Ini tanah kami. Palestina adalah tanah kami. Apa yang kalian lakukan sungguh tidak bisa diterima oleh siapapun, kecuali orang-orang yang sejenis dengan kalian. Jangan curi tanah kami.

Semalaman aku menangis. Tak ada seorangpun yang datang ke rumahku. Sampai matahari menampakkan sinarnya melalui sela-sela jendela. Secara tiba-tiba berdengar suara keras lagi. Yang ini lebiih keras dari yang semalam. Seperti suara bom. Sekali, dua kali, dan kemudian semua hitam, gelap, dan sunyi. Aku tak melihat apapun dan mendengar apapun. Suasana itu lebih damai buatku. Pelan-pelan ada sedikit cahaya yang datang menyingkap mataku. Aku seakan melihat ayah, ibu, kak Aishaa dan kak Hafidz tersenyum hangat kepadaku. Mereka sedang berjalan kearahku. Kemudian mereka berhenti dan kemudian tersenyum. Ayah membacakan sepotong ayat kepadaku dengan indah, dan aku mendengarkannya begitu hikmat.

"Laa tahzan walaa takhof innallaha ma'ana"
(Jangan bersedih dan jangan takut, Sesungguhnya Allah bersamaku)

Kemudian mereka berbalik kebelakang tanpa membawaku pergi bersama mereka. Tanpa mencium keningku seperti yang biasa mereka lakukan ketika mereka akan pergi meninggalkanku saat dahulu. Aku berteriak dan bertanya, akan kemanakah kalian? mengapa tak mengajakku? Tapi teriakanku tak mereka dengarkan. Mereka terus saja pergi meninggalkanku. Hingga gelap itu kembali datang dan aku sadar aku telah dikerumuni banyak orang. Aku tak mengenal siapa mereka. Pakaiannya hijau seperti dokter. Terdengat sesekali teriakan dari anak kecil seusiaku yang menjerit kesakitan. Aku berada dirumah sakit. Aku terkena reruntuhan rumahku akibat bom pasukan zionis yang menghantam rumahku.

Aku tak tahu lagi akan seperti apa nantinya masa depanku. Allah lebih Mencintai keluargaku. Dia Mengambil mereka semua dari sisiku saat ini. Tapi aku yang yakin ini adalah yang terbaik. Karena dulu ibu sering berpesan kepadaku, seseorang yang mati dijalan Allah, sebenarnya ia tidaknya mati, melainkan ia tetap hidup disisi Allah. Aku yakin mereka semua pergi dengan syahid karena membela agama Allah. Dan kini aku pun tak mau tertinggal begitu saja. Aku masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk tetap hidup. Aku berjanji aku akan jadi prajurit Allah yang tangguh. Aku tak akan takut kepada musuh-musuh Allah itu. Akan ku jemput syahid itu untuk Mu adar aku dapat berkumpul kembali dengan keluargaku disurga kelak. 


*cerita fiksi

_Gendys Mitasari Adesta_

No comments:

Post a Comment